Didong adalah sebuah kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah.
Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair.
Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur
kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di
dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup
sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai
dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai
keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam
ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal
cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu
serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman
sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan
fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu
dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam.
Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat
seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan
tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya
memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada
upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar
pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong harus
menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan
cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus
terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para
ceh untuk keperluan kesenian didong.
Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang
yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa
itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang
menduduki tanah Gayo.
Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan
didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan
adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes
terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah proklamasi, seni
pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam
menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan
tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara.
Selain itu, didong juga digunakan untuk mengembangkan semangat
kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah, madrasah, mesjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DI/TII.
Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut
saer, yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong denga
saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang
merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.
Dewasa ini didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan). Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer,
sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan
hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar