Sebenarnya banyak sekali kesaksian-kesaksian dari orang-orang yang
mengaku pernah jalan-jalan ke Wentira, misalnya salah satu contoh yang
paling terbaru yang saya dengar adalah ada seseorang yang memesan sebuah
mobil BMW i series warna kuning dengan memberikan alamat “WENTIRA”.
Dan hebohnya, yang memesan itu adalah “seorang pria tua” tanpa ada
keanehan sama sekali menurut sales promotion perusahaan tersebut.
lalu setelah di mobil tersebut di antar, ternyata tempat yang mereka datangi hanyalah hutan lebat.
Banyak juga warga di sekitar Wentira mengatakan, apabila ada kendaraan
lewat daerah tersebut harus membunyikan klakson 3X agar perjalanan
mereka lancar sampai tujuan.
Ada juga cerita yang lebih para dari kisah wentira : Suatu hari di
Pulau kalimantan ada sebuah tebing yang penuh dengan sarang burung walet
tetapi tak seorang pun yang bisa memanjatnya, pada suatu ketika ada
seorang pemuda dengan santai memanjat tebing itu meski tampa pengaman,
melihat aksi dari pemuda itu warga serompak terkejut ketika turun para
warga datang bertanya kepada pemuda itu karna wajahnya agak asing di
mata warga, ketika para penduduk bertanya dari mana dia berasal, lalu
pemuda itu menjawab dengan lantang ” saya dari Kota Wentira Palu” tak
lama kemudian pemuda itu hilang di kerumunan warga, (Cerita Pak Sappam
SekolahQ), dari cerita di atas warga wentira juga sering berkelana dan
mengembangkan kotanya dan menurut perkiraan kami Wentira telah
berkembang sampai di Mamuju (sul-bar), Mekongga (sul-tra) dan bisa saja
sampai di Kalimantan
Walaupun cerita ini seperti tak mungkin, namun saya sarankan agar kalian
jalan-jalan untuk melihat langsung lokasi dari Wentira ini
Cerita mengenai keberadaa komunitas “jin” Uwentira beredar cukup
santer di kalangan masyarakat Palu. Mendengar kata Uwentira atau
Wentira, mereka merujuk pada cerita, kisah maupun mitos soal keberadaan
komunitas yang tak kasat mata ini. Hanya sedikit orang yang bisa
melihatnya bahkan bisa berkomunikasi dengan warga Uwentira yang sering
muncul bahkan di pasar-pasar di Palu dan sekitarnya. Kawasan Wentira ini
oleh kalangan paranormal di Indonesia, memang dikenal sebagai salah
satu wilayah paling angker di seluruh pelosok nusantara
Demi menjawab rasa penasaran banyak pengunjung, saya ingin membagikan
cerita 3 teman saya berikut ini. Kebetulan mereka saya kenal karena
bertemu langsung.
1. Cerita Sulwan Dase
To Wentira (ditulis Uwentira), demikian masyarakat Palu menyebut
komunitas ini. Terletak disebuah kawasan yang bernama Wentira. Orang
Toraja kuno menyebutnya To Wae Ntira. Menurut beberapa kawan
menceritakan pengalaman mereka saat bertemu dgn orang2 To Wentira.
Katanya, kita seolah-olah terombang-ambing diantara dunia nyata dan
dunia maya, rasionalitas, dan supranatural. Bingung bercampur takjub.
Antara percaya dan tidak percaya.
Menurut mereka yang pernah ke “Kota Wentira”, kota itu sangat modern,
dgn peradabana yang sangat luar biasa. Semua jenis kendaraan ada disana
(termasuk MRT). Masyarakatnya makmur dan serba berada. Yang menjadi
persoalan adalah, pintu masuk ke kota tsb. Hampir tak satu orang pun
bisa menjelaskn secara pasti lokasi jalan masuk. beberapa menjelaskna
bhw pintu masuk dgn kendaraan roda dua dan mobil adalah melalui sebuah
jembatan beratap. Jembatan ini sebenarnya menjembatani sebuah sungai yg
membentang. Secara logika, bila kita masuk ke ujung satu pastilah bisa
tiba di ujung satunya. Namun keanehan terjadi. Kadang2 ketika sebuah
mobil memasuki ujung jembatan, mobil itu tdk pernah lagi keluar di ujung
satunya. Beberapa hari kemudian, barlah pengendara mobil itu bercerita
bhw mereka baru saja pulang dari Kota Wentira, di mana segala sesuatunya
ada disana.
Wow…persoalannya, di bagian mana dari jembatan itu yg menjadi pintu
masuknya? Sebab mobil tsb ketika memasuki jembatan, menghilang begitu
saja dari pandangan mata….Sewaktu saya bertanya kepada beberap kawan yg
pernah kesana, mengatakan, tempat itu sangat luar biasa. Namun tdk ada
lagi yg berani kesana…
2. Cerita LES Kala’tiku
Saya ingat suatu kejadian aneh yang saya dengar dari bapak saya sendiri.
Waktu itu Bapak mempunyai proyek di daerah lokasi wentira. niatnya sih
jalan2 di jembatan itu tapi pas memasuki mulut jembatan menurut teman
proyeknya mobil truk yang pakai teman saya dan supirnya tiba2 hilang
seakan2 di telan oleh jembatan itu. terus terang ini tidak masuk di akal
tapi kenyataan terjadi. tapi sayang teman kantor sya ini tidak mau
menceritakannya pak jadi jujur saya juga jadi penasaran dengan cerita
teman saya yang katanya kota itu luar biasa modern. yah antara kenyataan
dan fiksi….jadi bingung
3. Kesaksian PS Patandung
To wentira menurut orang Kaili (Suku asli di Sulteng)
ada di sekitar kebun kopi ( Jl poros tawaeli – Toboli ) di jalan poros
tersebut ada satu jembatan yang masih ada sampai sekarang. Konon
katanya, masih buatan Belanda. Di sampingnya ada satu jembatan jembatan
beton yang digunakan konon tahun 1980-an setiap kendaraan yg lewat wajib
memberi kode lampu atau setidaknya klakson sebagai tanda permisi mau
lewat.
Saya sudah beberapa kali melewati kawasan Kebun Kopi yang disebut-sebut
dua teman terakhir ini. Kawasan ini dikenal cukup berat, menanjak dengan
kemiringan tajam. Belum lagi sering terjadi longsong. Jembatan itu
masih ada, dan bahkan sekarang ada sebuah tugu berwarna kuning
bertuliskan NGAPA UWENTIRA. Ngapa dalam bahasa Kaili berarti
Kampung,Negeri atau Kota. Uwentira berarti tidak kasat mata. Jadi NGAPA
UWENTIA berarti Kota UWENTIRA.
Kisah Wentira : Kisah berikut agaknya sejalan dengan cerita yang saya
dapatkan dari beberapa sumber di Palu maupun di luar Palu. Warga Wentira
tidak punya garis pemisah diatas tengah bibir, seperti layaknya manusia
normal.
Menurut keyakinan masyarakat setempat, yang disebut kawasan Wentira atau
Uwentira adalah wilayah yang sekarang dikenal sebagai kawasan kebun
kopi, di jalan Trans Sulawesi poros Sulawesi Selatan – Sulawesi Tengah.
Di sekitar sana tidak ada pemukiman penduduk hanya pohon-pohon yang
menjulang tinggi berwarna keputih-putihan ditandai dengan sebuah
jembatan yang konon hanya orang yang mampu melihat hal-hal gaib-lah yang
bisa melihat kalau ternyata jembatan itu juga merupakan pintu gerbang
untuk masuk ke Kerajaan mistis Wentira.
Seseorang, dengan identitas seleb_celebes
memposting cerita ini di sebuah forum. Berikut kisahnya.
Untuk masuk ke Wentira, tidak boleh sembarangan, hanya yang dikehendaki
dan diizinkan oleh penghuni Wentira yang boleh masuk. Nah, paman teman
saya ini termasuk orang yang diizinkan, karena dia melakukan
ritual-ritual ditemani oleh orang2 pintar di sekitar daerah itu.
Sementara kalau orang yang dikehendaki biasanya orang yang katanya kalau
lewat tidak permisi (kulo nowon) dulu, lewat dengan sombongnya, dan
biasanya yang seperti ini tidak pernah lagi kembali keluar. Pernah ada
kejadian mobil melintas di tengah jembatan tetapi sebelum sampai diujung
jembatan sudah keburu menghilang, kata penduduk skitar masuk kedalam
Wentira.
Menurut cerita paman teman saya itu alam di dalam Wentira didominasi
warna kuning keemasan dimana penghuninya hidup sangat sejahtera dan
tidak ada yang miskin, kehidupan disana laiknya kehidupan normal, semua
ada baik gedung, kendaraan dll tapi semuanya serba mewah.
Menurut cerita orang-orang di sekitar pegunungan Sulawesi Tengah yang
katanya juga masuk kedalam area Wentira, kadang-kadang ada penghuni
Wentira yang keluar untuk berbelanja di pasar-pasar tradisional,
ciri-cirinya yang utama adalah tidak ada garis pemisah diatas tengah
bibir seperti layaknya manusia normal, kalau mereka muncul tetap
dilayani tetapi tidak ada yang berani mengganggu..
Rabu, 02 Januari 2013
Suku Bali
Suku Bali adalah sukubangsa yang mendiami pulau Bali, menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Sebagian besar suku Bali beragama Hindu, kurang lebih 90%. Sedangkan sisanya beragama Buddha, Islam dan Kristen.
Ada kurang lebih 5 juta orang Bali. Sebagian besar mereka tinggal di pulau Bali, namun mereka juga tersebar di seluruh Indonesia dan sedikit orang ada di Malaysia.
Ada kurang lebih 5 juta orang Bali. Sebagian besar mereka tinggal di pulau Bali, namun mereka juga tersebar di seluruh Indonesia dan sedikit orang ada di Malaysia.
Suku Jawa
Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti suku Osing, orang Samin, suku Bawean/Boyan, Naga, Nagaring, suku Tengger dan lain-lain. Selain itu, suku Jawa ada pula yang berada di negara Suriname, Amerika Tengah karena pada masa kolonial Belanda suku ini dibawa ke sana sebagai pekerja dan kini suku Jawa disana dikenal sebagai Jawa Suriname.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Bahasa
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Kepercayaan
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.Seni
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa.Daftar suku bangsa di Indonesia menurut provinsi
Berikut ini adalah daftar suku bangsa di Indonesia berdasarkan provinsi
Aceh
- Suku Aceh
- Suku Alas
- Suku Aneuk Jamee
- Suku Gayo
- Gayo Lut
- Gayo Luwes
- Gayo Serbejadi
- Suku Kluet
- Suku Simeulue
- Suku Singkil
- Suku Tamiang
Sumatera Utara
- Asahan
- Suku Dairi
- Suku Batak
- Suku Melayu
- Suku Nias
- Suku Nias selatan (sub suku Nias)
Riau dan Sumatera Barat
- Akit
- Hutan
- Kuala
- Kubu
- Laut
- Lingga
- Riau
- Sakai
- Talang Mamak
- Mentawai
- Minangkabau
Kepulauan Riau
Sumatera Selatan
- Ameng Sewang
- Anak Dalam
- Bangka
- Belitung
- Musi Banyuasin
- Musi Sekayu
- Ogan
- Enim
- Kayu Agung
- Kikim
- Komering
- Lahat
- Lematang
- Lintang
- Kisam
- Palembang
- Pasemah
- Padamaran
- Pegagan
- Rambang Senuling
- Lom
- Mapur
- Meranjat
- Musi
- Ranau
- Rawas
- Saling
- Sekak
- Semendo
Bengkulu, Jambi, dan Lampung
- Bengkulu
- Rejang
- Enggano
- Kaur
- Serawai
- Lembak
- Mulo - muko
- Suban
- Pekal
- Anak Dalam
- Batin
- Jambi
- Kerinci
- Penghulu
- Pindah
- Lampung
Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
- Etnis Tionghoa
- Bagelen
- Banyumas
- Suku Jawa
Jawa Timur
- Etnis Tionghoa
- Nagarigung
- Wong Samin
- Bawean
- Suku Madura
- Suku Tengger
- Suku Osing
Kalimantan Barat
- Babak
- Badat
- Barai
- Bangau
- Bukat
- Entungau
- Galik
- Gun
- Iban
- Jangkang
- Kalis
- Kantuk
- Kayan
- Kayanan
- Kede
- Kendayan
- Keramai
- Klemantan
- Pontianak
- Pos
- Punti
- Randuk
- Ribun
- Sambas
- Cempedek
- Dalam
- Darat
- Darok
- Desa
- Kopak
- Koyon
- Lara
- Senunang
- Sisang
- Sintang
- Suhaid
- Sungkung
- Limbai
- Maloh
- Mayau
- Mentebak
- Menyangka
- Sanggau
- Sani
- Seberuang
- Sekajang
- Selayang
- Selimpat
- Dusun
- Embaloh
- Empayuh
- Engkarong
- Ensanang
- Menyanya
- Merau
- Mualang
- Muara
- Muduh
- Muluk
- Ngabang
- Ngalampan
- Ngamukit
- Nganayat
- Panu
- Pengkedang
- Pompang
- Senangkan
- Suruh
- Tabuas
- Taman
- Tingui
Kalimantan Tengah dan Selatan
- Suku Dayak Abal - sudah punah
- Suku Dayak Bakumpai
- Suku Banjar
- Suku Dayak Beraki- sudah punah
- Berangas - sudah punah ?
- Bukit
- Suku Dayak Dusun Deyah
- Orang Bugis Pagatan
- Pitap
- Harakit
- Suku Dayak Bentian Kaltim - subSuku Dayak Lawangan
- Suku Dayak Bawo - sudah punah ?
- Suku Dayak Lawangan
- Suku Dayak Tamuan
- Suku Dayak Maanyan
- Suku Dayak Ngaju
- Suku Dayak Ot Danum
- Suku Dayak Paku
- Suku Dayak Punan Murung
- Suku Dayak Siang
- Suku Dayak Siang Murung - subSuku Dayak Siang
Kalimantan Timur
- Auheng
- Abai
- Baka
- Bakung
- Basap
- Benuaq
- Berau
- Bem
- Pasir
- Penihing
- Saq
- Berusu
- Bulungan
- Busang
- Dayak
- Huang Tering
- Jalan
- Kayan
- Kenyah
- Merap
- Punan
- Seputan
- Tahol
- Tidung
- Tingalan
- Timai
- Tunjung
- Kulit
- Kutai
- Long Gelat
- Long Paka
- Modang
- Oheng
- Touk
- Tukung
Bali dan Nusa Tenggara Barat
- Bali
- Loloan
- Nyama Selam
- Trunyan
- Bayan
- Dompu
- Donggo
- Kore
- Nata
- Mbojo
- Sasak
- Sumbawa
Nusa Tenggara Timur
- Abui
- Alor
- Anas
- Atanfui
- Babui
- Bajawa
- Bakifan
- Blagar
- Boti
- Dawan
- Deing
- Ende
- Faun
- Flores
- Hanifeto
- Helong
- Kabola
- Karera
- Kawel
- Kedang
- Kemak
- Kemang
- Kolana
- Kramang
- Krowe Muhang
- Kui
- Labala
- Lamaholot
- Lemma
- Lio
- Manggarai
- Maung
- Mela
- Modo
- Muhang
- Nagekeo
- Ngada
- Noenleni
- Riung
- Rongga
- Rote
- Sabu
- Sikka
- Sumba
- Tetun
- Tetun Terik di Kupan
- Tetun Portugis di perbatasan dengan Timor Leste
- Timor
- Marae
Sulawesi Utara
- Bantik
- Bintauna
- Bolaang Itang
- Bolaang Mongondaw
- Bolaang Uki
- Borgo
- Gorontalo
- Kaidipang
- Minahasa
- Mongondow
- Polahi
- Ponosakan
- Ratahan
- Sangir
- Talaurd
- Tombulu
- Tonsawang
- Tonsea
- Tonteboran
- Toulour
Sulawesi Tengah
- Bada
- Bajau
- Balaesang
- Balantak
- Banggai
- Bungku
- Buol
- Dampelas
- Dondo
- Kahumamahon
- Kailli
- Muna
- Tomia
- Wakotobi
- Wawonii
- Kulawi
Sulawesi Selatan, Barat, Dan Tenggara
- Pattae ( Kab. Polewali Mandar )
- Abung Bunga Mayang
- Bentong Duri
- Luwu
- Makasar
- Mandar
- Majene
- Massenrempulu
- Bugis
- Buton
- Daya Selayar
- Kalisusu
- Toala
- Toraja
- Tojo Una-una
- Towala - wala
- Duri
- Wiwirano
- Tolaki (Kota Kendari, Kab : Konawe, Konewe Selatan dan Utara)
- Tomboki
- Moronene (Kab. Bombana)
- Labeau
- Wuna (Kab. Muna)
- Wolio(Kab.Buton/Kota Bau-Bau)
- Mekongga (Kab. Kolaka/Kolaka Utara)
- Oro dipedalaman Bone selatan (Bonto Cani)
- Bajo di pesisir Teluk Bone, Pulau Sembilan Sinjai, Selayar
- Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko (Kab. Wakatobi)
Kepulauan Maluku
- Alune
- Ambon
- Aru
- Babar
- Bacan
- Banda
- Bulli
- Buru
- Galela
- Gane
- Gebe
- Halmahera
- Haruku
- Jailolo
- Kei
- Kisar
- Laloda
- Leti
- Lumoli
- Maba
- Makian
- Mare
- Memale
- Moam
- Modole
- Morotai
- Nuaulu
- Pagu
- Patani
- Rana
- Sahu
- Sawai
- Seram
- Tanimbar
- Ternate
- Tidore
- Tobaru
- Tobelo
- Togutul
- Wai Apu
- Wai Loa
- Weda
- Pelauw
Irian Jaya/Papua
- Aero
- Airo Sumaghaghe
- Airoran
- Ambai
- Amberboken
- Amungme
- Dera
- Edopi
- Eipomek
- Ekagi
- Ekari
- Emumu
- Eritai
- Fayu
- Foua
- Gebe
- Gresi
- Hattam
- Humboltd
- Hupla
- Inanusatan
- Irarutu
- Isirawa
- Iwur
- Jaban
- Jair
- Kabari
- Kaeti
- Pisa
- Sailolof
- Samarokena
- Sapran
- Sawung
- Wanggom
- Wano
- Waris
- Watopen
- Arfak
- Asmat
- Baudi
- Berik
- Bgu
- Biak
- Borto
- Buruai
- Kais
- Kalabra
- Kimberau
- Komoro
- Kapauku
- Kiron
- Kasuweri
- Kaygir
- Kembrano
- Kemtuk
- Ketengban
- Kimaghama
- Kimyal
- Kokida
- Kombai
- Korowai
- Kupul
- Kurudu
- Kwerba
- Kwesten
- Lani
- Maden
- Sawuy
- Sentani
- Silimo
- Tabati
- Tehid
- Wodani
- Ayfat
- Yahrai
- Yaly
- Auyu
- Citak
- Damal
- Dem
- Dani
- Demisa
- Demtam
- Mairasi
- Mandobo
- Maniwa
- Mansim
- Manyuke
- Mariud Anim
- Meiyakh
- Meybrat
- Mimika
- Moire
- Mombum
- Moni
- Mooi
- Mosena
- Murop
- Muyu
- Nduga
- Ngalik
- Ngalum
- Nimboran
- Palamui
- Palata
- Timorini
- Uruway
- Waipam
- Waipu
- Wamesa
- Yapen
- Yagay
- Yey
- Anu
- Baso
Suku Madura
Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya
Sebaran Tinggal
Di samping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta, Tangerang, Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia. Beberapa kota di Kalimantan seperti Sampit dan Sambas, pernah terjadi kerusuhan etnis yang melibatkan orang Madura disebabkan oleh kesenjangan sosial, namun sekarang kesenjangan itu sudah mereda dan etnis Madura dan penduduk setempat sudah rukun kembali. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang mempunyai etos kerja yang tinggi, suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang perantauan asal Madura umumnya berprofesi sebagai pedagang, misalnya: berjual-beli besi tua, pedagang asongan, dan pedagang pasar. Namun, tidak sedikit pula di antara mereka yang menjadi tokoh nasional seperti ketua MK Mahfud Md, Wardiman Djojonegoro (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998 di bawah pemerintahan Presiden Soeharto), R. Hartono adalah seorang mantan jenderal dengan pangkat tertinggi di TNI Angkatan Darat yaitu jenderal bintang empat dengan jabatan tertinggi pula sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Beliau merupakan satu-satunya perwira tinggi dari korps Kavaleri yang mendapatkan pangkat jenderal penuh (bintang empat). Selain itu banyak juga terdapat tokoh pejuang kemerdekaan yang layak menjadi Pahlawan nasional Indonesia Seperti: Trunojoyo yang telah memberikan perlawanan terhadap Kolonial Belanda (VOC tahun 1677). Kiyai Taman adalah seorang pejuang Islam yang gigih menentang Belanda pada tahun 1919. Kiai Djauhari membuka cabang Hizbullah di Prenduan. Didirikan pada tahun 1944, Hizbullah adalah organisasi militer pemuda Majelis Muslimin Indonesia (Masjumi), organisasi yang berpengaruh secara nasional kala itu (Huub de Jonge 1989: 256).Agama dan Kepercayaan
Mayoritas masyarakat suku Madura adalah penganut Islam.Bahasa
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).Karakter Sosial Budaya
Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat Madura.Suku Sunda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan Lampung.
Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia.
Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda.
Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang. Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Karakter orang Sunda yang periang dan suka bercanda seringkali ditampilkan melalui tokoh populer dalam cerita Sunda yaitu Kabayan dan tokoh populer dalam wayang golek yaitu Cepot, anaknya Semar. Mereka bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Sang Hyang Surawisesa atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan hubungan diplomatik dengan Bangsa lain pada abad ke 15 dengan orang Portugis di Malaka. Hasil dari diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal. Beberapa tokoh Sunda juga menjabat Menteri dan pernah menjadi wakil Presiden pada kabinet RI.
Disamping prestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal masa kemerdekaan Indonesia) dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan adalah pada bidang budaya yaitu banyaknya penyanyi, musisi, aktor dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki prestasi di tingkat nasional, maupun internasional.
Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek yang berbeda[1]. Dialek-dialek ini adalah:
Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti gendang, gong, saron, kecapi, dsb. Degung bisa diibaratkan 'Orkestra' dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.
Bubuy Bulan Es Lilin Manuk Dadali Tokecang Warung Pojok
1. Calung Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
2. Angklung Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang. Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Karakter orang Sunda yang periang dan suka bercanda seringkali ditampilkan melalui tokoh populer dalam cerita Sunda yaitu Kabayan dan tokoh populer dalam wayang golek yaitu Cepot, anaknya Semar. Mereka bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Sang Hyang Surawisesa atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan hubungan diplomatik dengan Bangsa lain pada abad ke 15 dengan orang Portugis di Malaka. Hasil dari diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal. Beberapa tokoh Sunda juga menjabat Menteri dan pernah menjadi wakil Presiden pada kabinet RI.
Disamping prestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal masa kemerdekaan Indonesia) dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan adalah pada bidang budaya yaitu banyaknya penyanyi, musisi, aktor dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki prestasi di tingkat nasional, maupun internasional.
Pandangan Hidup
Selain agama yang dijadikan pandangan hidup, orang Sunda juga mempunyai pandangan hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pandangan hidup tersebut tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya karena secara tersurat dan tersirat dikandung juga dalam ajaran agamanya, khususnya ajaran agama Islam. Pandangan hidup orang Sunda yang diwariskan dari nenek moyangnya dapat diamati pada ungkapan tradisional, juga dari naskah kuno.Bahasa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bahasa Sunda
Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa
Sunda. Namun kini telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di
perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa tersebut dalam bertutur kata.[5] Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung dan Bogor, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek yang berbeda[1]. Dialek-dialek ini adalah:
- Dialek Barat
- Dialek Utara
- Dialek Selatan
- Dialek Tengah Timur
- Dialek Timur Laut
- Dialek Tenggara
Kesenian
Seni tari
Seni tari utama dalam Suku Sunda adalah tari jaipongan, tari merak, dan tari topeng.Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti gendang, gong, saron, kecapi, dsb. Degung bisa diibaratkan 'Orkestra' dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.
Wayang Golek
Tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Cerita wayang yang populer saat ini banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat menarik.Seni musik
Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :Bubuy Bulan Es Lilin Manuk Dadali Tokecang Warung Pojok
1. Calung Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
2. Angklung Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional.
Suku Betawi
Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Melayu dan Tionghoa.
Namun pihak lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya benar karena eksistensi suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. [1] Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 - 3000 sebelum masehi.
Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Pada penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu :
Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[9] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Melayu dan Tionghoa.
Namun pihak lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya benar karena eksistensi suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. [1] Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 - 3000 sebelum masehi.
Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Pada penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu :
- Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
- Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
- Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
- Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Seni dan kebudayaan
Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (Sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Bahasa
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[9] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".Tari
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.Drama
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.Suku Batak
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Islam Sunni dan Kristen Protestan. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Islam Sunni dan Kristen Protestan. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Salam Khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Falsafah dan sistem kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
- Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
- Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
- Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Kontroversi
Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.
Suku Bugis
SUKU BUGIS DAN ADAT ISTIADAT
Suku Bugis adalah salah satu suku yang
berdomisili di Sulawesi Selatan. Ciri utama kelompok etnik ini adalah
bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang
merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan
pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga bisa
dikategorikan sebagai orang Bugis. Diperkirakan populasi orang Bugis
mencapai angka enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di
berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,
Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga
banyak yang merantau ke mancanegara seperti di Malaysia, India, dan
Australia.
Suku Bugis adalah suku yang sangat
menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari
tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat
seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat
malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah
luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh
anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan
tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh
masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi
setidaknya masih diingat dan dipatuhi.
Salah satu daerah yang didiami oleh suku
Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang
disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di
Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2
dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah
ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi
saling menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah
ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah
dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’
yang berarti ‘Orang Selatan’. Orang-orang ini dalam seharinya menyembah
berhala di dalam gua atau gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP
(Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu.
Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada
kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah mereka. Saat ini,
penganut kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita, salah
satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.
Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh
Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan
Addatuang Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa
lalu) yang bernama Nenek Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan
keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan
pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang
sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e
De’nakkeambo, de’to nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak
mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan
Nenek Mallomo’ ketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman
kepada putera Nenek Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga
sawahnya. Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan dengan
tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang
Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di
Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo’ dalam menjalankan hukum, hal
ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa
tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk,
Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah
Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’)
dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG
yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin
Nu’mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.
Adat panen:
Mulai dari turun ke sawah, membajak,
sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan
tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit padi
disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di
possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang
ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya.
Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae,
salah satu epos Lagaligo tentang padi. Dan ketika panen tiba digelarlah
katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong
pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan
Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan
appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda.
Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.
Bagi komunitas Pakalu, ritual
mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan
sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia.
Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh
sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos
Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai
dewi padi yang sangat dihormati.
Tapi itu dulu. Ketika tanah dan padi
masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan.
Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan
surplus produksi ekonomi nasional.
Sekadar mengingat kembali lebih dari 30
tahunan yang silam, pemerintah melancarkan program intensifikasi
pertanian di desa-desa, yang dikenal dengan revolusi hijau dalam
pembangunan pertanian. Program itu, di awal tahun 1970-an, populer
dengan nama Bimas Padi Sawah. Nyaris tak ada satu jengkal pun lahan
pertanian yang terhindar dari proyek berorientasi swasembada dan bisnis
pertanian ini. Segala cara dilakukan para penyuluh dan pegawai Bimas,
melalui ancaman maupun paksaan, agar para petani menjalankan program
bimas. Kelompok-kelompok petani dibentuk. Modernisasi sistem pertanian
dilancarkan. Hingga pengenalan varietas baru yang disebut-sebut sebagai
‘bibit unggul’ itu wajib ditanam.
Sejak saat itu pare riolo yang biasa
disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Dan digantikan dengan
varietas ‘unggul’ padi sawah. Seperti padi Shinta, Dara, Remaja, yang
merupakan produk persilangan yang dikeluarkan Lembaga Pusat Pertanian
(LP-3) Bogor. Atau varietas unggul baru macam IR-5 dan IR-8 yang dikenal
dengan PB-5 dan PB-8 yang hasil rekayasa Rice Researce Institute
(IRRI). Teknik baru berupa mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem
pengolahan tanah yang mengandalkan tenaga sapi atau kerbau.
Seiring dengan modernisasi sistem
pertanian dan orientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi
nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar,
lambat laun mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu
semakin ditinggalkan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani. Tak ada lagi
katto bokko. Tidak pula kelong pare dan mappadendang. Bersamaan dengan
itu tiada lagi penghargaan terhadap sumber kehidupan. Praktek menanam
tidak berurusan dengan anugerah Sangiyang Sri seperti yang diyakini
selama ini. Tapi soal bagaimana produk pertanian dapat mengejar target
produksi nasional yang diharapkan para penyuluh pertanian.
Mapadendang itu tradisi menumbuk padi.
Dulu merontokkan padi itu dengan menumbuk. Sekarang sudah pakai mesin
giling. Makanya mapadendang pun semakin jarang dilakukan. Padahal dalam
ritual itulah rasa kebersamaan para petani muncul. Bahkan mappadendang
menjadi tempat pertemuan muda-mudi yang ingin mencari pasangan hidup.
Dalam ritual itu setiap pasangan mulai saling mengenal calon
pasangannya, memperhatikan sikap dan tingkah lakunya.
Kini penghargaan terhadap padi sebagai
sumber kehidupan sudah pudar. Orang-orang sekarang hanya berpikir
bagaimana bibit itu bisa cepat tumbuh dan cepat panen. Meski demikian,
tidak berarti program pembangunan pertanian masa pemerintahan Suharto
yang berhasil mengubah kultur masyarakat pedesaan ini tanpa menuai
reaksi dan protes. Di Sidrap, misalnya. Puluhan petani enggan beralih
bibit padi baru. Di Kindang yang masuk wilayah Bulukumba, seorang petani
bernama Karaeng Haji menantang seorang penyuluh pertanian yang
mendatanginya. Cerita yang dituturkan Massewali ini justeru membuktikan
hasil panen Karaeng Haji jauh lebih besar ketimbang hasil panen yang
dijanjikan para penyuluh pertanian dari Bimas. Di banyak tempat di
Sulawesi Selatan, khususnya di daerah-daerah pertanian, kasus-kasus
serupa tak sedikit jumlahnya.
Alasannya pun bermacam-macam. Dikatakan,
misalnya varietas bibit baru unggulan itu kenyataannya cuma unggul
sekali panen atau paling banter dua kali panen. Adapun untuk masa tanam
berikutnya mereka harus mengganti bibit dengan cara membeli bibit baru
melalui unit koperasi yang masih dijalankan secara ‘top-dawn’ pula.
Tentu saja ini menyulitkan para petani yang harus bergonta-ganti bibit
baru setiap musim tanam.
Respon yang lain juga diperlihatkan oleh
komunitas Pakalu. Seperti dituturkan Mustari dan Halima, mereka menerima
varietas bibit baru untuk sebagian persawahan mereka. Di pihak lain
mereka juga tidak meninggalkan varietas padi lama yang lebih terbukti
hasilnya. Dengan cara itu selain memperoleh hasil produksi yang
melimpah, mereka pun masih bisa menjalani mappadendang. Ritual yang
menjadi bagian dari penghayatan hidup mereka sehari-hari.
Di Kabupaten Sidrap dewasa ini, tradisi
mappadendang digelar dengan acara makan bersama di balai desa yang
dihadiri oleh tetua-tetua, pemuka adat, pemuka agama, tokoh masyarakat,
dan semua petani-petani. Acara ini dimaksudkan untuk mensyukuri hasil
panen mereka. Mereka mensyukuri rejeki yang dilimpahkan oleh Allah SWT
kepada mereka.
Adat pernikahan:
Pernikahan yang kemudian dilanjutkan
dengan pesta perkawinan merupakan hal yang membahagiakan bagi semua
orang terutama bagi keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Di Sulawesi
Selatan terdapat banyak adat perkawinan sesuai dengan suku dan
kepercayaan masyarakat. Bagi orang Bugis-Makassar, pernikahan/perkawinan
diawali dengan proses melamar atau “Assuro” (Makassar) dan “Madduta”
(Bugis). Jika lamaran diterima, dilanjutkan dengan proses membawa uang
lamaran dari pihak pria yang akan dipakai untuk acara pesta perkawinan
oleh pihak wanita ini disebut dengan “Mappenre dui” (bugis) atau
“Appanai leko caddi” (Makassar). Pada saat mengantar uang lamaran
kemudian ditetapkan hari baik untuk acara pesta perkawinan yang
merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Sehari sebelum hari “H”
berlangsung acara “malam pacar” mappaci (bugis) atau “akkorontigi”
(Makassar), calon pengantin baik pria maupun wanita (biasanya sdh
mengenakan pakaian adat daerah masing-masing) duduk bersila menunggu
keluarga atau kerabat lainnya datang mengoleskan daun pacar ke tangan
mereka sambil diiringi do’a-do’a untuk kebahagiaan mereka. Keesokan
harinya (Hari “H”), para kerabat datang untuk membantu mempersiapkan
acara pesta mulai dari lokasi, dekoasi, konsumsi, transportasi dan
hal-hal lainnya demi kelancaran acara. Pengantin pria diberangkatkan
dari rumahnya (Mappenre Botting = Bugis / Appanai leko lompo = Makassar)
diiringi oleh kerabat dalam pakaian pengantin lengkap dengan barang
seserahan ‘erang-erang’ menuju rumah mempelai wanita. Setibanya di rumah
mempelai wanita, pernikahanpun dilangsungkan, mempelai pria mengucapkan
ijab kabul dihadapan penghulu disaksikan oleh keluarga dan kerabat
lainnya. Setelah proses pernikahan selesai, para pengantar dipersilakan
menikmati hidangan yang telah dipersiapkan. Selanjutnya, para pengantar
pulang dan mempelai pria tetap di rumah mempelai wanita untuk menerima
tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan selamat dan menyaksikan acara
pesta perkawinan. Pada acara pesta perkawinan biasanya meriah karena
diiringan oleh hiburan organ tunggal atau kesenian daerah lainnya.
Keesokan harinya, sepasang pengantin selanjutnya diantar ke rumah
mempelai pria dengan iring-iringan yang tak kalah meriahnya.
Selanjutnya, rumah mempelai pria berlangsung acara yang sama, bahasa Bugis disebut ‘mapparola’.
Langganan:
Postingan (Atom)